Beranda | Artikel
Mampu Haji tetapi Tidak Berangkat, Apakah Kafir?
Kamis, 29 Juni 2023

Pertanyaan:

Jika ada orang yang sebenarnya sudah mampu untuk naik haji. Namun ia tidak melakukannya dan lebih memilih untuk menghabiskan harta untuk membeli aset-aset seperti kendaraan roda empat, tanah, rumah dan juga untuk investasi, bagaimana hukumnya? 

Jawaban:

Alhamdulillah, ash-shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa man walah, amma ba’du,

Ulama sepakat bahwa ibadah haji hukumnya wajib ‘ain bagi yang mampu. Allah ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS. Ali Imran: 97).

Bahkan, ibadah haji adalah salah satu rukun Islam. Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mengaku Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji, dan berpuasa di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16).

Patokan Mampu

Haji wajib hukumnya bagi yang mampu melaksanakannya. Sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Demikian juga Allah ta’ala berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani manusia kecuali sesuai kemampuannya” (QS. Al-Baqarah: 286).

Dan patokan “mampu”, dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhul Muyassar (hal. 173), adalah dengan melihat empat poin:

  1. Mampu secara harta, sehingga ia memiliki bekal untuk perjalanan dan mampu meninggalkan nafkah yang cukup untuk keluarga yang ditinggalkan.
  2. Mampu melakukan perjalanan ke Baitullah.
  3. Mampu secara fisik, tidak sedang sakit parah atau tua renta yang membuat ia tidak bisa melakukan perjalanan ke Baitullah.
  4. Jalur perjalanan menuju ke Baitullah dalam kondisi aman, tidak ada bahaya seperti perampok, wabah, perang, dan semisalnya.

Jika salah satu kriteria ini tidak terpenuhi, maka belum dikatakan mampu sehingga belum wajib untuk berhaji.

Dan ada satu kriteria lagi bagi wanita yang ini diperselisihkan oleh para ulama. Yaitu mampu menghadirkan mahram untuk melakukan perjalanan haji, ketika tempat tinggalnya jauh dari Mekkah. Ulama berbeda pendapat menjadi tiga pendapat:

  • Ulama Hanabilah berpendapat wajibnya hal ini secara mutlak. 
  • Ulama Syafi’iyyah berpendapat tidak wajibnya ditemani mahram untuk haji wajib. 
  • Adapun Ulama Malikiyah berpendapat wajib bersama mahram jika ada, namun boleh tanpa mahram jika tidak ada. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Yang kuat, wanita wajib menghadirkan mahram untuk haji maupun umrah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بامْرَأَةٍ إلَّا وَمعهَا ذُو مَحْرَمٍ، وَلَا تُسَافِرِ المَرْأَةُ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ، فَقَامَ رَجُلٌ، فَقالَ: يا رَسولَ اللهِ، إنَّ امْرَأَتي خَرَجَتْ حَاجَّةً، وإنِّي اكْتُتِبْتُ في غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، قالَ: انْطَلِقْ فَحُجَّ مع امْرَأَتِكَ

“Tidak boleh seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya. Dan seorang wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya”. Maka seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku hendak berhaji, dan aku sudah terdaftar untuk berangkat (jihad) perang ini dan itu”. Nabi bersabda, “Pulanglah dan temanilah istrimu berhaji”” (HR. Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341).

Dalam hadits ini, lelaki yang ingin pergi berjihad diminta oleh Nabi untuk tidak berangkat berjihad demi untuk menemani istrinya berhaji. Ini mengindikasikan wajibnya hal tersebut. Dan tidak boleh wanita berhaji atau berumrah tanpa ditemani oleh mahramnya. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ulama Kibar Mu’ashirin seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dan Syaikh Shalih Al-Fauzan.

Haji yang Wajib Adalah Sekali Seumur Hidup

Kewajiban haji bagi yang mampu melakukannya, adalah hanya sekali seumur hidup. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ قدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الحَجَّ، فَحُجُّوا، فَقالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يا رَسولَ اللهِ؟ فَسَكَتَ حتَّى قالَهَا ثَلَاثًا، فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: لو قُلتُ: نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَما اسْتَطَعْتُمْ، ثُمَّ قالَ: ذَرُونِي ما تَرَكْتُكُمْ، فإنَّما هَلَكَ مَن كانَ قَبْلَكُمْ بكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ علَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بشيءٍ فَأْتُوا منه ما اسْتَطَعْتُمْ، وإذَا نَهَيْتُكُمْ عن شيءٍ فَدَعُوهُ

“Wahai manusia, telah diwajibkan atas kalian berhaji, maka berhajilah”. Kemudian ada seorang yang bertanya, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Beliau tidak menjawabnya, sampai orang tadi bertanya lagi hingga tiga kali. Barulah Rasulullah shallallahu‘ alaihi wasallam menjawab, “Jika aku katakan “ya”, maka niscaya akan diwajibkan setiap tahun dan belum tentu kalian sanggup melakukannya. Maka tidak perlu membahas apa yang aku tidak singgung kepada kalian. Karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa akibat banyak bertanya dan banyak menentang para Nabi mereka. Jika aku perintahkan sesuatu, kerjakanlah darinya sesuai dengan kemampuan kalian. Jika aku telah melarang sesuatu atas kalian, maka tinggalkanlah” (HR. Muslim no. 1337).

Hadits ini menunjukkan kewajiban haji hanya sekali seumur hidup. Adapun haji yang kedua, ketiga dan seterusnya, hukumnya sunnah.

Orang yang Mampu, Namun Tidak Berangkat Haji

Sebagian ulama, seperti Al-Hasan Al-Bashri, Nafi’, Ibnu Habib Al-Maliki, menganggap kafirnya orang yang tidak berhaji padahal mampu. Dalil mereka adalah surat Ali Imran ayat 97, Allah ta’ala berfirman di akhir ayat:

وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Barang siapa kufur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (QS. Ali Imran: 97).

Dan juga karena haji adalah salah satu rukun Islam. Dan menurut mereka, jika salah satu rukun Islam tidak dipenuhi padahal mampu, maka pelakunya kafir keluar dari Islam.

Dalil yang lainnya juga riwayat dari Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

مَن أطاقَ الحجَّ، فلم يحُجَّ فسواءٌ عليه مات يهوديًّا أو نصرانيًّا

“Barang siapa yang mampu berhaji namun tidak berangkat haji, maka sama saja apakah ia mati sebagai orang Yahudi atau sebagai orang Nasrani” (HR. Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, 1: 387, dishahihkan Hafizh Al-Hakami dalam Ma’arijul Qabul, 2: 639).

Perkataan semisal ini juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma. Namun, riwayat ini tidak secara tegas menunjukkan kafirnya orang yang tidak menunaikan ibadah haji. 

Oleh karena itu, jumhur ulama tidak menganggap kafir orang yang tidak berhaji padahal mampu. Dan ini adalah kesepakatan para sahabat Nabi. Abdullah bin Syaqiq Al-‘Uqaili rahimahullah mengatakan,

لم يكن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة

“Dahulu para sahabat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam tidak memandang ada amalan yang bisa menyebabkan kekufuran jika meninggalkannya, kecuali shalat” (HR. At-Tirmidzi no. 2622, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan:

ومن تركه وهو قادر فهو على خطر، وقد روي عن علي أنه قال فيمن تركه وهو قادر: لا عليه أن يموت يهوديًا أو نصرانيًا وهذا من باب الوعيد، هذا من باب التحذير والوعيد وإلا فليس بكافر، من تركه ليس بكافر لكنه عاصي إذا ترك الحج وهو يستطيع

“Siapa yang meninggalkan haji padahal ia mampu melakukannya, maka ia dalam bahaya. Terdapat riwayat dari Ali bin Abi Thalib bahwa ia berkata: Siapa yang mampu haji namun tidak naik haji maka sama saja apakah ia mati sebagai orang Yahudi atau sebagai orang Nasrani. Perkataan beliau ini adalah ancaman, peringatan keras, namun bukan pengkafiran. Orang yang meninggalkan ibadah haji padahal mampu, ia tidak kafir namun ia telah bermaksiat” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no. 273, pertanyaan no. 16).

Dengan demikian orang yang mampu haji namun tidak berangkat haji ia tidak sampai kafir keluar dari Islam, namun ia telah melakukan dosa yang besar dan keislamannya dalam bahaya yang besar. Karena yang ia tinggalkan adalah salah satu rukun Islam.

Oleh karena itu bagi siapa saja yang sudah mampu untuk menunaikan ibadah haji, hendaknya bersegera untuk menunaikannya. Semoga Allah ta’ala memberikan kemudahan.

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/42379-mampu-haji-tetapi-tidak-berangkat-apakah-kafir.html